Site Overlay

Mati Lampu dan Matinya Utopia

Inilah lilin yang menemani selama kegelapan di rumah setelah pemadaman listrik oleh PLN pada hari Minggu (4/8/2019) dari pagi hingga malam.

Ada banyak hal yang saya pelajari dari kasus mati lampu yang menimpa beberapa daerah di Pulau Jawa hari Minggu (4/8/2019) kemarin. Pertama, betapa gagalnya saya sebagai manusia yang ternyata tidak memiliki persiapan menghadapi keadaan yang mendesak seperti kemarin.

Begitu listrik mati, seperti urat nadi yang terputus sehingga pasokan darah ke seluruh tubuh langsung mandeg dan tercerai berai. Selalu dibayangi oleh menyusutnya persediaan air di toren rumah, sementara untuk mengisinya butuh kerja pompa yang membutuhkan pasokan daya.

Sebagai makhluk modern yang membanggakan hubungannya dengan ponsel pintar, hari kemarin seolah jadi pengingat bahwa ada masa saat semua tidak bisa dipergunakan. Padamnya listrik di Jawa Bali ternyata melumpuhkan jaringan telekomunikasi yang mengakibatkan ponsel kita tidak bisa dipakai untuk membuat panggilan telepon, dan lebih parah lagi: terhubung ke jaringan internet.

Dan saya pernah merasakan bangganya hidup di era aplikasi dan layanan dari startup untuk memudahkan bagi segala urusan, kini sadar bahwa semua itu hanya bisa terwujud bila ada jaringan infrastruktur yakni internet dan listrik. Keduanya tumbang.

Dan seperti pencatat waktu hitung mundur karena daya di dalam baterai terus menyusut sementara tidak ada gelagat bahwa listrik kembali menyala. Ojek online, media sosial, atau bahkan sekadar beselancar melalui peramban menjadi hal yang mustahil.

Sore hari, matahari beranjak turun ke peraduan, dan belum ada gelagat listrik bakal pulih. Muncullah masalah selanjutnya: kegelapan malam. Paniklah saya berburu lilin karena menyadari tidak memiliki stok di rumah sebelumnya. Segera saya ambil motor dan dinaiki untuk menuju toko terdekat.

Sayangnya persaingan berlangsung cukup sengit. Tanpa harus berhadapan, kami saling mengetahui bahwa bapak-bapak yang naik sepeda motor dengan muka kebingungan berkeluyur di sekitar toko kelontong dan berakhir dengan frustasi karena jawabannya seragam: “sudah habis.”

Malam pun tiba, dan dua batang lilin yang berhasil didapatkan setelah berkeliling sudah habis. Anak-anak ditidurkan meski dengan kondisi tidak nyenyak karena dikerumuni nyamuk.

Sebelum listrik menyala sekitar pukul 22.00, beberapa hal melintas di kepala, salah satunya adalah betapa rentannya peradaban kita terbalik dari sebelumnya baik-baik saja menjadi nyaris apocalypse. Penggunaan kata apocalypse mungkin sedikit berlebihan, tapi gelagatnya sama yakni masyarakat yang panik karena sumber dayanya seperti air, makanan, dan listrik menipis.

Saya bersyukur kejadian itu hanya berlangsung selama satu hari saja. Masih banyak tempat usaha yang buka, termasuk penjaja makanan. Asalkan punya uang (maaf, Go-Pay, kali ini kamu tidak berguna sama sekali), kita bisa membeli dan masih dengan harga normal.

Namun apa yang terjadi bila berlanjut hingga besok, lusa, tubin? Dengan cepat peradaban langsung ambruk. Kekurangan makanan dan air segera memunculkan konflik pada sesama warga yang sudah tinggal di kawasan yang padat ini.

Dan kembali ke saya, ternyata belum ada rencana mengantisipasi hal tersebut sejak awal. Setidaknya memiliki persiapan untuk menghadapinya pada beberapa waktu di awal. Kita pun ternyata sangat bergantung pada layanan yang ternyata sangat rentan bermasalah.

Betapa..tergantungnya..kita..dan..betapa..kita..tidak..punya..persiapan

Tidak ada upaya merintis hidup menggunakan sumber energi alternatif seperti matahari. Itu yang melintas sepanjang siang saat mati lampu. Di luar sana, matahari menerangi segala hal, tapi tidak bisa dipanen untuk jadi energi yang menyuplai daya untuk lampu penerangan di malam hari. Tidak ada panel surya, tidak ada baterai. Semua berlalu begitu saja.

Begitu pula persiapan. Absennya lilin membuat malu setengah mati. Ternyata begitu ill-prepared-nya kita menghadapi masalah ini.

Dan begitu ini ditarik ke tingkat lebih luas lagi, masyarakat Indonesia ternyata selama ini berjudi dengan nasib karena tidak memiliki rencana cadangan atau rencana darurat dari segala hal buruk yang menimpa.

Apakah distopia yang akan kita wariskan kepada anak cucu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *