Serial “The Road to Red Restaurant List” merayakan kekalahan restoran tua menghadapi roda zaman. Pergulatan tempat makan tradisional yang memberi tempat bagi modernitas tanpa disadari akan menghapus sajian yang disiapkan dengan cinta. Acara ini hanya ingin mengabadikan saat-saat terakhir kekayaan rasa sebelum hilang sepenuhnya.

Serial yang bisa ditonton di layanan Netflix ini hadir sebagai antitesa dari industri kuliner yang semakin efisien dan memudahkan pengguna. Waralaba membuat merek restoran berkembang biak dan merajalela dengan waktu singkat. Pengguna tentu terbantu karena mereka bisa mendapatkan pengalaman yang konsisten tidak peduli sedang bersantap di cabang manapun.
Lantas datang era makanan kirim, memanfaatkan layar smartphone bisa memesan makanan dan dalam waktu singkat tiba di teras rumah dan siap dinikmati. Menyambut fenomena ini, muncul tren ghost kitchen yang mendorong distribusi makanan kian cepat sampai ke rumah konsumen, bahkan tanpa harus membangun restoran. Mereka tinggal menerima pesanan, menyiapkan makanan, dan menyerahkan ke ojek online untuk diantar. Efisien, ringkas dan cepat.
Rona pesimisme selalu ditegaskan dalam setiap serial ini saat Suda, pria paruh baya yang menghabiskan akhir pekannya untuk berkeliling daerah sekitar Tokyo untuk liburan sendirian dan berburu zetsumeshi alias makanan langka, atau makanan yang terancam punah. Makanan itu hanya bisa ditemui di kedai-kedai lawas yang jauh dari definisi restoran waralaba yang lebar, terang, dan rapi. Setiap epiaode, Suda menikmati masakan sambil menyadari bahwa sajian tersebut bisa jadi punah apabila pengelola kedai meninggal tanpa ada penerusnya.
“Mungkin tempat ini tidak ada lagi kalau Anda kembali lagi,” kira-kira seperti itu, umumnya dilontarkan dengan nada bercanda tapi tersimpan fakta bahwa hal itu bisa terjadi sewaktu-waktu.
Jadilah Suda berkeliling ke kedai setiap akhir pekan yang diwakili oleh setiap episode. Dia akan mendatangi kedai, menikmati masakannya dan mengingat sebisa mungkin pengalamannya di sana sebagai cara untuk merayakan restoran-restoran tua.

Pesan “tradisional yang tenggelam oleh zaman modern” juga digambarkan melalui penokohan Suda. Dia adalah pria paruh baya pekerja kantoran dengan pencapaian biasa saja. Dia memiliki putri semata wayang yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri dan istrinya yang menemani aktivitas putri mereka. Suda adalah orang yang kesepian, jadi bulan-bulanan di kantor dan tidak bisa masuk ke dunia anaknya.
Jadilah dia sering kesepian setiap pulang Jumat malam hingga akhir pekan, kondisi itu yang memberinya ide untuk liburan dengan tiga syarat: hanya dilakukan Jumat malam sepulang kerja hingga Sabtu sore, dilakukan sendiri, dan menggunakan uang bekalnya untuk bensin dan makanan atau kebutuhan lainnya. Liburan ini berhasil mengisi energi Suda setiap minggu.
Setiap akhir pekan, Suda akan liburan sendiri, kemping di dalam mobil dan menikmati berbagai obyek wisata di Jepang. Sabtu siang dia akan berburu makanan langka sebelum pulang ke rumah.

Perburuannya itulah yang mempertemukan Suda dengan tempat makan tradisional yang beroperasi sambil menanti ajal. Sambil menyantap, Suda berbicara dengan pengelolanya untuk mengetahui cerita dan perjalanan mereka. Melalui makanan yang dipesan Suda, dia tengah merekam ingatan tempat itu apabila suatu hari berhenti beroperasi karena tidak ada penerusnya.
Setiap episode, Suda juga mengalami konflik sebagai karyawan senior serta orang tua, mulai minder karena merasa kalah bersaing dengan karyawan muda, hingga kesulitan untuk “nyambung” dengan keluarganya.
Jangan salah sangka, serial ini dikemas secara komedi dengan Suda yang serba canggung serta sejumlah tokoh disekelilingnya. Ceritanya juga tidak memaksakan diri untuk, misalnya menyelamatkan restoran tua itu, tapi merekam suasana, cerita pemiliknya, dan yang terpenting adalah masakannya. Kita diajak untuk memahami bahwa masakan langka itu satu hari bisa saja punah karena pemilik meninggal atau kedai tutup tanpa sempat mewariskan resep.

Tak sedikitpun serial ini menyalahkan restoran modern atau waralaba yang terbukti lebih digemari mayoritas masyarakat. Mereka hanya ingin merayakan waktu yang tinggal sedikit tersisa, merayakan bahwa masakan mereka pernah mewarnai budaya dan manusia sampai akhirnya harus hilang ditelan zaman. Inilah waktu yang tepat untuk merayakan kekalahan terhadap roda zaman.