Site Overlay

Nyawa Digital? Kenapa Tidak?

Meskipun bergenre sains fiksi, baik serial “Altered Carbon” dan “Upload” memberikan ide yang menggelitik mengenai nyawa digital. Kalau uang saja bisa dibuat digital, kenapa nyawa tidak bisa?

Poster serial Upload. Layak ditonton. Seru.

Ide menulis ini tiba-tiba melintas begitu rampung maraton seriap “Upload” yang menampilkan tokoh Nathan Brown yang tinggal di bumi masa depan. Di masa depan ini, digital adalah segalanya, dan akan terus mengejar bahkan kita sudah tidak lagi bernyawa.

Inti dari serial yang tersedia pada Amazon Prime Video ini adalah sebuah teknologi bernama “Upload” atau mengunggah kesadaran manusia ke dalam bentuk digital. Hal ini hanya bisa dilakukan selama badan masih hidup, hanya saja tidak ada jalan kembali. Siapa pun yang mengalami proses Upload tidak akan bisa kembali ke badannya karena prosesnya…sedikit mindblowing.

Nathan Brown, tokoh protagonis dalam seriap “Upload” Boom! di episode pertama.

Nathan yang digambarkan harus melalui proses Upload di usia muda lantas ditempatkan di sebuah resor digital bernama Lakeview bersama para arwah-arwah digital lainnya. Di sini, mereka akan menghabiskan keabadian dengan bersantai, makan, bersenang-senang.

Nathan harus beradaptasi dengan hidup barunya sebagai arwah digital, termasuk menyadari bahwa tidak semua kenyamanan yang disediakan memuaskan kebutuhannya layaknya seorang manusia. Dia pun juga harus menyadari bahwa sang kekasih yang terlibat dalam keputusan untuk mengunggah juga terlibat lebih dalam atas keberlangsungannya di sana, terlebih muncul tokoh Nora sebagai pendamping dari perusahaan penyedia layanan yang membuat konflik kian ruwet.

Serial Upload ini menggabungkan drama di dunia nyata dan virtual, dan pada akhirnya keduanya berbaur.

Oh ya, dan pembunuhan. Paruh pertama dari season pertama ini menggambarkan adaptasi Nathan di akherat digital, tapi paruh kedua mulai menggali alasan dia ada di sana, termasuk orang-orang yang sebelumnya menemani semasa hidup.

Bagi saya, serial ini menarik untuk diikuti. Mungkin lebih memenuhi para penggemar drama dengan baluran sedikit komedi. Upaya membangun dunia masa depan cukup meyakinkan untuk ditonton.

Serial Altered Carbon menggambarkan peradaban manusia yang jauh di masa depan dan tidak secerah serial Upload. Banyak darah di sini.

Serial ini lantas mengingatkan saya kepada serial “Altered Carbon” yang ditayangkan pada Netflix. Setting waktunya jauh lebih maju ke masa depan dibandingkan Upload saat manusia bisa melakukan perjalanan antariksa meski penggambarannya lebih suram.

Sewaktu menonton season pertama serial ini. Whoa, saya benar-benar menikmati karena penggambaran lore dari cerita ini berjalan apik. Meskipun penggambarannya cukup rumit, Altered Carbon mampu menerangkannya secara perlahan.

Konsep nyawa digital digambarkan oleh serial ini dalam bentuk teknologi bernama stack, sebuah kepingan yang berisi kesadaran seseorang dan ditempatkan di tulang belakang. Setiap orang yang berusia setahun lebih akan mendapatkan implan stack.

Tokoh protagonis “Altered Carbon” bernama Takeshi Kovacs. Jangan tanya kenapa namanya kaya gitu.

Stack inilah yang bisa diartikan sebagai kunci keabadian manusia karena stack bisa dipindahkan ke tubuh baru (istilahnya sleeve) begitu tidak berguna lagi. Syaratnya hanya satu, stack tetap utuh karena di sana tersimpan kode digital yang diistilahkan DHF. Kalau tidak, kematian permanen yang akan menimpa mereka.

Orang awam masih bisa melanjutkan kehidupannya dengan berpindah sleeve meski tidak bisa memilih tubuh baru, berbeda dengan kaum meth yang kaya dan mampu menjangkau teknologi lebih lanjut. Mereka bisa mencetak tubuh baru yang sama dengan yang lama dan menyimpan ingatan pada layanan semacam cloud sehingga bila mati meskipun stack rusak masih bisa kembali.

Seperti ini bentuk stack yang menjadi tulang punggung dari cerita Altered Carbon.

Nyawa digital dari teknologi stack ini memungkinkan transportasi antarbintang bisa diwujudkan. Karena yang dilakukan hanyalah mengirimkan sinyal digital dalam proses bernama needlecast. Tiba di lokasi, tinggal dicetak ke stack baru dan dimasukkan ke dalam sleeve. Demikian sederhananya.

Tokoh utama dari serial ini bernama Takeshi Kovacs, seorang envoy atau prajurit khusus pemberontak yang memiliki kemampuan untuk intuisi, indera, dan refleks yang melampaui manusia kebanyakan.

Season pertama dari “Altered Carbon” ini memperkenalkan tokoh Takeshi Kovacs pada kehidupan para meth yang menikmati keabadian karena bisa memperpanjang daur kehidupannya. Cerita pada season pertama cukup menyegarkan karena memberi ide bahwa ketika manusia mencapai keabadian, dia justru kehilangan kemanusiaannya.

Dalam cerita Altered Carbon ini juga diperkenalkan Neo-C atau Neo Catholicism, agama yang meyakini bahwa manusia tidak boleh dikembalikan lagi setelah mati. Alias begitu meninggal, biarlah meninggal. Ada satu episode yang menyebut bahwa manusia perlu untuk menyadari bahwa dia fana, bahwa dia punya waktu terbatas, dan itulah yang membuatnya sempurna.

Season kedua dari Altered Carbon yang agak nganu. Mungkin ini pendapat subyektif.

Sebetulnya Altered Carbon ada dua season, tapi menurutku season kedua sudah kehilangan pesonanya. Ada begitu banyak yang malah tidak diulas, pertanyaan yang tersisa dari season pertama malah dibiarkan hilang.

Satu potensi dari season kedua justru datang dari tokoh Artificial Intelligence, Poe yang mendampingi tokoh utama. Sepanjang season 2, ketika para manusia saling bertarung membabi buta, Poe justru melakoni perjalanan untuk menjadi manusia dengan mengakui kerapuhannya.

Kemungkinan

Bagi saya, dua serial tadi mengajak penontonnya untuk mempertimbangkan ide yang bisa jadi masuk akal di masa mendatang. Apabila sudah ada teknologi yang mampu menerjemahkan kesadaran ke dalam bentuk digital, bukankah pada dasarnya nyawanya sudah bertransformasi.

Dengan teknologi sekarang, bisa dibilang hal itu mustahil dilakukan. Tapi mungkin kita sadar bahwa perlahan, ada kemajuan yang mikroskopis yang suatu hari akan bergerak ke arah sana.

Kita semua mengira adegan emosional ini akan menutup rangkaian kisah Fast and Furious… lantas negara api menyerang.

Misalnya penggunaan wajah mendiang Paul Walker untuk mengisi adegan akhir di film Fast Furious 7. Hal itu dilakukan karena Paul meninggal saat syuting dilakukan dan harus memanfaatkan teknologi CGI untuk mengisi adegan yang tersisa.

Lantas muncullah tren untuk menggunakan wajah aktor yang sudah meninggal dalam film. Teknologinya sudah mumpuni dan hasilnya sudah meyakinkan penonton. Misalnya mendiang Peter Cushing yang wajahnya dipakai untuk tokoh Grand Moff Tarkin dalam film “Rogue One”.

Penampilannya mungkin hanya sekilas, tapi trennya terus bergulir, salah satunya rencana pembuatan film “Finding Jack” yang akan menggunakan tokoh virtual dari mendiang James Dean. Hal itu mengundang perdebatan soal etika dan hak intelektual.

Terlepas dari sana, kita melihat bahwa ada beberapa aspek yang selama ini kita yakni sebagai biologis dan memiliki usia biologis hingga kemudian menjadi binasa bisa kembali relevan berkat teknologi digital.

Prosesnya makin disederhanakan, belajar dari arsip video wawancara untuk mendapatkan sumber bahan wajah dari berbagai sudut. Dengan demikian, aktor CGI itu bisa disandingkan dengan aktor sungguhan.

Lantas masuk teknologi kecerdasan buatan yang mendorong teknologi Deepfake. Saya pernah menulis soal itu, dan bagi saya ini adalah milestone yang penting dalam pergerakan kita ke arah nyawa digital.

Teknologi ini memungkinkan seorang aktor yang lama meninggal bisa bermain bersama cucunya dalam satu film. Dan kemungkinannya tidak terbatas. Hanya saja, yang terjadi saat ini barulah meniru cangkangnya, belum sampai pada kesadaran.

Saya yakin ini hanyalah soal waktu saja karena sangat lumrah bahwa semua orang ingin hidup selamanya. Mimpi itu muncul karena dia sadar bahwa waktunya terbatas. Seperti dalam serial Altered Carbon maupun Upload, keabadian pun juga punya harganya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *