Site Overlay

Paradoks Winden; Gengsi Baru Netflix: Serial Dark

Dua tokoh utama dari serial Dark: Jonas Kahnwald (Louis Hoffman) dan Martha Nielsen (Lisa Vicari)

Menonton serial Dark yang rampung dalam tiga season kini menjadi norma yang baru. Tidak gaul atau berpendidikan rasanya kalau belum menonton serial ini. Padahal kisah yang mengangkat warga kota kecil bernama Windem ini jauh dari urusan gaul maupun mendidik. Terlebih bagi para pengguna Telkom yang baru-baru ini bisa mengakses layanan Netflix tanpa harus memanfaatkan layanan virtual private network alias VPN, serial Dark seolah jadi “rangkaian ibadah” yang harus dilakoni.

Tulisan ini bukan menguliti serial tersebut, mengungkap setiap spoiler, atau semacamnya. Ini hanyalah kesan saya setelah menonton habis serial Dark. Selebihnya mengomentari bagaimana kisah tersebut dipentaskan di depan layar televisi atau gawai.

Kalau diminta menjelaskan serial Dark sesederhana mungkin, saya lebih memilih untuk memakai istilah “German Engineering”.

Saya menemukan istilah ini lebih banyak dari situs 9gag, sebagai bahan olok-olokan sekaligus pujian kepada orang Jerman yang piawai dalam hal keinsinyuran. Istilah “German Engineering” muncul dari kemampuan para insinyur Jerman dalam untuk membuat produk yang kokoh, awet dan tahan lama.

Namun, pada saat yang sama, istilah ini punya tonalitas menyindir karena komitmen pada desain kerap menjadikan mereka suka membuat hal menjadi rumit dari biasanya. Pada akhirnya, hal itu tidak efisien dan menyusahkan penggunanya.

Istilah itulah yang melintas di benak kepala sewaktu perjalanan melahap serial Dark baru separuh sebelum episode terakhir.

Cerita Dark itu rumit. Tidak perlu dibahas lagi. Saking rumitnya, saya sampai suudzon kalau tim produksi Dark berkumpul setiap selesai syuting sambil evaluasi:

Tim produksi serial Dark. Orang-orang yang bertanggung jawab atas meningkatnya permintaan akan Panadol maupun obat sakit kepala.

“Udah cukup memusingkan, belum?” tanya mereka.

Kalau sudah sepakat, barulah dirayakan sebelum esok hari melanjutkan syuting.

Akan banyak momen, kita ditinggalkan dalam keadaan linglung. Bingung dengan detail dari serial ini. “Hah? Kenapa begini? Kenapa begitu?” adalah pertanyaan yang muncul sewaktu menonton serial ini, bahkan saat tiba di Season 3 (yang menjadikan keadaan rumit kian rumit lagi).

Namun menjelang akhir perjalanan, celah-celah itu ditutup secara tekun oleh kemampuan bercerita sang sutradara serial. Kita akan paham kenapa pertemuan-pertemuan itu terjadi, hingga dialog yang diucapkan oleh para tokoh utama.

Hingga sampai pada episode akhir, saya bisa yakin bahwa para penonton akan merasa tuntas karena segala simpul yang tertinggal sepanjang perjalanan menonton serial ini diselesaikan dengan baik. Dan bagi saya yang sudah menginvestasikan waktu dan konsentrasi dalam menonton serial ini, rasa salut yang harus diutarakan kepada tim produksi adalah kemampuan mereka dalam “membangun” dunia Winden yang menjadi latar serial Dark ini.

Saya harus menyampaikan apresiasi karena tim produksi serial ini bisa memastikan adegan dalam kilas balik sesuai dengan rencana syuting mereka di masa mendatang. Belum lagi pemilihan bintang yang memperkuat serial ini. Selain tokoh protagonist Louis Hoffman sebagai Jonas Kahnwald dan Lisa Vicari sebagai Martha Nielsen, para tokoh dipersiapkan secara matang.

Sebelum memulai perjalanan membaca ini, saya akan berbagi pengalaman menonton serial Dark tanpa sebisa mungkin memberikan spoiler cerita.

Adegan pertama yang menampilkan tokoh Michael Kahnwald menjadi bentangan ketapel yang kemudian melentingkan penonton pada drama sains fiksi mengenai perjalanan waktu dan pertanyaan filosofi mengenai eksistensi manusia di dunia ini.

Menghafalkan karakter tokoh warga Winden itu baru seperempat perjalanan. Masih ada intrik dan hubungan lainnya.

Secara perlahan, penonton diperkenalkan pada tokoh-tokoh warga Kota Winden, sebuah kota yang menjadi lokasi operasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Dengan segera, kita akan tahu bahwa rupanya warga kota ini adalah mereka yang hidup dengan rahasia masing-masing. Setiap orang punya hal yang disembunyikan maupun dosa pada masa lalunya.

Anggap saja semua orang saling terkait, kompleksitas makin tebal saat diperkenalkan perjalanan waktu. Mereka di masa lalu ternyata memengaruhi orang-orang di masa kini, bahkan sebaliknya. Tunggulah sampai Season III dan rasakan kepala nyut-nyutan karena kompleksitas yang ada langsung dikali dua dengan memperkenalkan konsep baru yakni realitas paralel.

Gua yang menjadi simpul cerita dari serial Dark ini.

Yang terjadi kemudian, kita melihat interaksi tokoh yang hidup masa kini dengan tokoh yang hidup pada masa lalu maupun masa depan. Mereka saling memengaruhi dengan karakter lain dengan versi waktunya sendiri.

Ilustrasi terbaik adalah lewat meme ini:

Mbulet? Ini baru Pengantar.

Paradoks

Bagi yang besar dengan hiburan bertema perjalanan waktu, barangkali bakal kurang nyaman dengan dunia yang dibangun lewat serial ini. Seolah paradoks bahwa masa depan bisa memengaruhi masa lalu menjadi tidak berarti. Setiap orang bisa memengaruhi masa lalu maupun masa depannya.

Seorang karakter dari zaman yang berbeda akan bisa memiliki motivasi yang berlainan. Terkadang motivasi nya bisa bertolak belakang. Seorang tokoh versi masa depan bisa punya punya agenda lain dengan versi masa kini.

Namun, di sinilah kejeniusan dari storytelling Dark (atau ganjaran bagi mereka yang sabar menonton serial dari awal), bahwa fase-fase awal yang membingungkan bakal dijelaskan pada episode selanjutnya.

Jonas Kahnwald, potongan teka-teki utama dari serial ini.

Betapa tidak, tokoh-tokoh di serial Dark itu bertindak sebagai kepingan teka-teki yang diselesaikan pelan-pelan. Dari awal kita mengikuti perjalanan tokoh utama hingga tanpa sadar kita menyaksikan sendiri transformasi di masa mendatang dan kembali memengaruhi versi mereka di masa lalu.

Secara perlahan kartu-kartu ditumpuk menjadi bangunan cerita oleh para sutradara. Dan percayalah, mereka yang sabar mengikuti hingga akhir perjalanan bakal mendapatkan pengalaman visual yang menarik.

Pujian saya berikutnya terletak pada casting pemain untuk serial ini. Nilai positif bisa saya ajukan karena penunjukan bintang untuk serial ini bisa menghasilkan imersi bagi para penonton yang mengikuti perjalanan mereka dari kecil, muda, hingga tua. Hasilnya sangat meyakinkan, versi muda dari tokoh Alexander Tidemann misalnya, diperankan oleh aktor yang memiliki sorot mata yang sama dengan pemeran dewasanya.

Hasilnya kita akan kenal baik dengan tokoh di dalam serial ini. Betapa tidak, kita melihat pergulatan mereka saat kecil, saat muda dan beranjak dewasa. Kita bisa melihat keputusan di masa kecil akan membawa pengaruh hingga dewasa. Dan tidak hanya satu tokoh saja, tapi sebagian besar dari pemeran serial Dark ini mendapatkan treatment seperti itu.

Cara mudah untuk menggambarkan pengalaman ini adalah kutipan yang dilontarkan salah satu tokoh yakni Adam (maaf tidak ada spoiler):

A man lives three lives.
The first, ends with the loss of naivety,
The second, with the loss of innocence,
And the third, with the loss of life itself.

It’s inevitable that we go through all three stages

– Adam

Menyaksikan tiga season dari serial Dark ini, kita akan mengikuti perjalanan setiap tokoh melalui fase-fase ini, fase mereka kehilangan kepolosannya dan bertemu dunia yang tidak hanya hitam putih, fase saat mereka melakukan dosa, dan sebagian harus bergulat dengan kematian.

Secara teknis, saya juga dimanjakan visual mereka. Penggunaan lensa anamorphic yang benar-benar memuaskan, sewaktu mereka menyorotkan senter ke arah kamera, muncul garis sinar vertical yang menjadi ciri khas lensa ini. Begitu pula penggunaan teknik kaleidoskop yang semula saya kira hanya untuk gimmick saja, ternyata menjadi simbol mengenai cerita Dark yang bermain dengan konsep realitas paralel.

Martha Nielsen, gebetan/tante.

Dengan segala puji-pujian barusan, saya pun perlu melontarkan keganjilan yang mengganjal saat menyimak serial ini. Satu kecurigaan saya, ketiadaan media sosial membuat warga kota kecil ini leluasa menyimpan rahasia kelamnya masing-masing. Bayangkan saja mereka rutin memakai IG dan mengunggah IG Story, pasti saja bakal terbongkar dengan mudah.

Ketiadaan media sosial di Winden ini sungguh mengganggu karena jelas-jelas setting waktunya tahun 2019 dan serial ini menunjukkan layanan internet. Salah satu adegan Jonas bermain di rumah temannya yakni Bartosz, digambarkan keduanya memakai PS4 (yang membutuhkan akses internet), atau Claudia sedang riset di perpustakaan umum menggunakan mesin pencari.

Bagi saya, media sosial harusnya menjadi komponen chaos yang bisa menghalangi warga Winden untuk menyimpan rahasia rapat-rapat. Bayangkan saja kalau settingnya di Indonesia, pasti rahasia-rahasia itu tidak akan bertahan lama.

Serial ini menjadi fenomena karena sambutan yang positif. Entah karena bingung mau kasi kritik seperti apa.

Namun ini hanyalah komentar usil saja. Saya beranggapan media sosial dihilangkan untuk memberi ruang bermain yang leluasa bagi penulis naskah dalam membangun cerita serial Dark dengan komprehensif, lengkap dan tuntas.

Pengalaman saya setelah menonton tidak lah bahagia, sedih, maupun marah. Letih itu sudah pasti. Tapi yang bisa saya pastikan: saya seperti merampungkan sebuah perjalanan panjang dan bertemu dengan banyak orang Winden yang tersangkut dalam paradoks waktu.

Saya merasakan tuntas.

Dark bisa ditonton di Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *