I started a prank, and it doesn’t go well.
Pernah ga sih niat kita hanya bersenang-senang, tanpa ada niat jahat, Hanya untuk membuat suasana riang. Tapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Mereka tidak terhibur.
Kita sambut tanggal 1 April 2016. Setiap tanggal itu diperingati dengan “April Mop” atau hari saat semua punya toleransi berlebih untuk menanggapi berita bohong, guyonan, atau semacamnya.
Seolah jadi konsensus saja. Hanya untuk sehari, kita akan mendapati berita bohong bersliweran dan tertawa dengan kreativitas dalam membuatnya seolah itu hal yang nyata.
Ada penyedia layanan ojek aplikasi Go-Jek yang membuat video layanan Go-Date yang menjadikan aplikasi itu menjadi biro jodoh. Cukup meyakinkan karena sosok di pucuk perusahaan yang menerangkannya secara meyakinkan, meski sebagian dari kita yang skeptis sudah curiga dari awal. Tapi cukup menghibur karena hari itu semua orang bisa sedikit melonggarkan urat serius.
Tidak hanya Go-Jek, beberapa pelaku usaha memanfaatkan momen ini untuk memenangkan internet Indonesia dengan konten “hoax” sebaik mungkin.
Dan aku pun jadi penasaran ingin urun tangan.
Saat itu saya sedang tugas luar negeri dengan beda waktu sekitar 6 jam dengan Jakarta. Saat waktu memungkinkan (liputan acara rampung dan kita beranjak pulang ke hotel), saya memandangi linimasa dan terhibur dengan hoaks-hoaks bikinan anak bangsa. Muncul keinginan untuk berpartisipasi.

Status facebook itu saya unggah siang hari, kemungkinan di Indonesia sudah malam.
Dan status itu saya lepaskan tanpa kerisauan apa pun. Semua hanya becanda dan harusnya tidak akan merugikan siapa pun. Semua harusnya terhibur dengan terkekeh.
Seperti terlihat, di status itu hanya ada tiga komentar, satu orang sudah yakin itu april mop, satu masih penasaran, dan satu lagi curiga. Hanya satu yang memberikan reaksi tanpa ada orang yang share.
“Ya sudahlah,” batinku. Paling status ini hanya akan terkubur dalam linimasa dengan keriuhan pembicaraan warganet hari itu.
Esok paginya…
…engga
Saya menerima pesan Whatsapp di pagi hari waktu setempat, saya baru saja bangun. Isinya bikin saya agak tertegun. Rupanya tangkapan layar dari status Facebook itu dikirimkan ke ponsel saya. Menanyakan: apa maksudnya?
Saya jelaskan itu adalah berita bohong yang diunggah saat April Mop, tidak ada niatan sedikitpun untuk menyebarkan kabar yang simpang siur.
Rupanya isi di dalam status tersebut dikhawatirkan menimbulkan dampak yang aneh-aneh.
Usai percakapan via whatsapp, segera saya kembali ke akun Facebook. Salah satu pertanda postingan yang viral adalah lonjakan engagement mulai dari komentar, respon, atau orang yang membagikan ulang.
Menjadi viral bukanlah sesuatu yang sedang saya butuhkan saat itu.
Tapi tidak ada yang berubah seperti hari sebelumnya. Tidak ada pertambahan like maupun komentar, tidak ada seorang pun yang membagikan ulang status itu.
Di tengah kebingungan saat iseng menyisir linimasa Twitter, tiba-tiba saya mendapati tweet yang isinya seolah senada dengan status saya.
Saya tersadar, saya tengah menghadapi teknologi khas Indonesia: screenshot.
Saya menduga ada yang mengambil tangkapan layar dan membaginya lintas platform. Inilah pangkal perkara yang diduga saya alami saat ini. Status April Mop itu beredar luas dan diterjemahkan dari luar konteksnya. Atau mungkin sebetulnya tidak beredar luas tapi hanya pada orang-orang yang kebetulan berkepentingan.
Saat itu saya diminta untuk menghapus status saya, permintaan itu saya maklumi meski tidak sepenuhnya dilakukan. Saya memilih untuk membuatnya jadi “Only Me” alias hanya saya saja yang bisa melihatnya.
Kenapa? Karena untuk hari ini.
Belajar
Harus diakui, hari “April Mop” tidak bisa dijadikan sebagai pembenar dari status yang dibuat. Kalau memang lingkungan dimana kita ada tidak berkenan, artinya memang harus diikuti. Tapi ada satu lagi hal yang belakangan saya sadari bahwa hal itu sebaiknya tidak dilakukan.
Itu terjadi saat saya sedang diminta untuk mencari referensi terkait panduan bermedia sosial untuk ruang redaksi (newsroom), saya mendapatkan contoh 10 contoh praktek dari berbagai ruang redaksi yang dikumpulkan oleh The America Society of News Editor atau ASNE (dokumennya bisa diunduh di sini) rupanya salah satunya menyebut bahwa jurnalis memang tidak disarankan membuat konten-konten yang bisa dianggap mengecoh orang lain.
Meski disusun tahun 2011, dokumen ini memberikan masukan yang cukup berharga bagi para wartawan untuk bersikap di tengah jagat maya. Bagian “Social networks are tools, not toys” yang menjadi poin kedelapan justru memberikan contoh yang sama: April Mop.

Ditekankan secara jelas bahwa jurnalis, bagaimana pun yang terjadi mereka tetap mewakili institusi tempat mereka bekerja. Dan itu tidak boleh mengganggu peran mereka sebagai penutur kebenaran, bahkan bila ada hari yang memperbolehkannya seperti April Mop.
Meski kejadiannya tidak plek persis dengan yang saya hadapi, referensi itu memberi wawasan baru dan momen pembelajaran yang baik. Ini adalah satu momen di mana saya harus lebih berhati-hati di linimasa.
Artinya, kalau mau becanda, tunjukkan secara jelas kalau memang tidak serius. Itulah kenapa status saya makin ga jelas.