Site Overlay

Penebusan Dosa Zack Snyder’s Justice League, Kalau Itu Memang Disebut Sebagai Dosa Joss Whedon

Zack Snyder’s Justice League bukan hanya sebuah film, tapi merupakan sebuah penebusan dosa dari film Justice League yang rilis pada tahun 2017. Namun istilah “penebusan dosa” rasanya juga kurang tepat karena film tersebut telah menjadi karya sinematik yang lahir pada waktu dan keadaan yang tepat. Oleh karena itu, pantaskah kita menyebut Joss Whedon sebagai orang yang menyebabkan kita semua berada di titik ini sekarang?

Berburu vitamin D

CHAPTER I – Wrong time Wrong place

Membaca perjalanan film Justice League sejak muncul tagar #ReleaseSnyderCut yang terkesan mustahil, beragam drama mengemuka seperti curhat salah satu pemainnya Ray Fisher di media sosial, hingga kemudian secercah harapan muncul dengan pengumuman Zack Snyder’s Justice League. Fast forward hari ini, film dengan durasi kurang lebih 4 jam akhirnya selesai ditonton.

Curahan hati Cyborg. Padahal udah diganti mesin oleh Motherbox #spoiler

Memaknainya sebagai satu himpunan kenangan lantas mengingatkan saya pada pengalaman sebagai wartawan. Apa yang terjadi pada proyek film Justice League kalau boleh saya umpamakan adalah proyek liputan yang sudah direncanakan jauh hari.

Sebagai eksekutornya, seorang wartawan yang dikenal akan tulisannya yang humanis dan mampu menarik pemaknaan dari sebuah peristiwa sederhana. Dia pun datang ke lapangan dan meliput dan mulai menulis sesuai rencana yang diputuskan dalam rapat redaksi.

Malang tidak dapat ditolak untung tak dapat diraih (btw, kapan terakhir kali anda membaca ungkapan ini?), wartawan tersebut harus mengundurkan diri karena alasan yang tidak bisa ditawari, bahkan oleh para pimpinan. Force majeure kalau istilah yang kerap digunakan di dalam ruang redaksi.

Peliputan harus mandeg karena ini, sementara deadline pembuatan tulisan di koran tidak bisa diundur. Semua pun putar otak, akhirnya keputusan diambil, wartawan lain pun ditunjuk. Dia memiliki pengalaman liputan di bidang hiburan yang mampu merangkai bunga kata menjadi tulisan yang memikat pembaca.

Proyek yang separuh jadi ini pun kembali dilanjutkan dengan ujung tombak yang baru. Wartawan pengganti pun melahirkan artikel dengan gaya penulisan sesuai apa yang dia kuasai selama ini. Sayangnya artikel tersebut tidak mendapatkan sambutan sesuai harapan, terlebih sewaktu beredar kabar bahwa wartawan yang semula mengerjakannya ternyata punya keinginan untuk mengarahkan tulisan akhir menjadi artikel yang dianggap lebih memuaskan keinginan pembaca.

Empat tahun kemudian, kesempatan itu datang. Perusahaan media yang tengah mengembangkan kanal digital menelurkan ide untuk merilis artikel sesuai visi awal. Bukan di koran yang tempatnya terbatas, kini mereka punya halaman web yang bisa menampung sebanyak apapun tulisan yang dipersiapkan oleh sang wartawan yang kini dipanggil kembali untuk menggarapnya.

Dan akhirnya artikel itu keluar dan para pembaca pun menyambutnya dengan meriah karena merasa artikel ini memenuhi ekspektasi mereka dan mengobati kekecewaan atas segala ketidakpuasan yang ditimbulkan dari artikel versi sebelumnya.

Dengan perkembangan situasi yang ada, bijakkah bila kita menyalahkan wartawan pengganti atau keputusan rapat redaksi yang memutuskan pergantian wartawan, atau bahkan wartawan awal yang tidak teguh dalam memegang proyek liputan tersebut?

Semua itu hanyalah ilustrasi dengan penyederhanaan yang teramat sangat. Sangat menarik melihat film “Justice League” yang mendapatkan kesempatan kedua, dalam ingatan saya yang pendek, belum pernah ada film yang mendapatkan hal serupa: diluncurkan kembali dengan sutradara yang berbeda untuk menunjukkan alur kisah yang berbeda. Selama ini yang terjadi hanyalah mendapatkan versi Director’s Cut berupa tambahan potongan adegan yang tidak muncul dari versi bioskop.

Poster film

Hal ini pun melibatkan dua nama sutradara kondang: Zack Snyder dan Joss Whedon sebagai dua orang yang membidani film Justice League secara terpisah. Adalah Whedon sebagai sutradara dari film Justice League yang dirilis tahun 2017, melanjutkan proyek yang dimulai oleh Snyder yang harus mundur karena alasan pribadi. Dan tiba pada pertengahan Maret 2021, akhirnya film Justice League kembali dirilis dengan mengikuti visi Snyder melalui layanan streaming HBO Go.

Bukan blog berbayar, tapi bisa dikontak langsung ke https://www.hbogoasia.id/

Membandingkan dua versi dari film ini, kesimpulan pun muncul bahwa Whedon telah “membantai” film Justice League. Rekam jejak sebagai sutradara film dari jagat sinema Marvel (Marvel Cinematic Universe) ternyata tidak bisa diterjemahkan dengan baik dalam proyek Justice League yang punya mood dan tone sendiri. Gegap gempita menyambut versi Snyder pun makin meneguhkan hal tersebut.

Menurut saya, jawabannya pun tidak sesederhana iya atau tidak. Dua versi film “Justice League” ini mewakili dua konteks yang berbeda dan tidak bisa dibandingkan dengan sejajar.

CHAPTER II: You have different privileges

Mari memulai dengan pengandaian setelah menonton film Zack Snyder’s Justice League: “Apa jadinya bila film Justice League yang rilis tahun 2017 ternyata sesuai dengan visi Snyder?”.

Poster film Justice League (2017)

Satu jawabannya: tidak ada yang tahu seperti apa hasilnya, karena kita tidak tahu bagaimana pengalaman menonton Zack Snyder’s Justice League dengan pakem bioskop pada tahun 2017.

Iya, anda tidak salah baca. Zack Snyder’s Justice League rilis dengan durasi 242 menit alias empat jam, tentu akan sulit bila ditayangkan di bioskop, itu pun kalau dimungkinkan pada era pandemi seperti sekarang. Hanya dengan layanan streaming HBO Go, semua dimungkinkan.

Solusinya: dibuat dalam dua bagian yang membuatnya hilang greget dibandingkan film Marvel yang menghasilkan satu judul setiap tahun. Opsi kedua: sunting alias harus dipotong agar menyesuaikan dengan kebutuhan penonton bioskop.

Bila mengikuti opsi kedua inilah, kita akan sadar bahwa versi Whedon dan Snyder tidak bisa disandingkan karena versi Whedon punya durasi separuh dari versi Snyder (120 menit vs 242 menit).

Komentar yang muncul adalah betapa versi Snyder menghadirkan pengalaman dan kisah Justice League secara komprehensif tanpa meninggalkan konteks seperti dilakukan kepada versi Whedon. Wajar saja karena Snyder mendapatkan kemewahan yang tidak dinikmati Whedon: dia bisa menyajikan kisahnya tanpa harus terkungkung pada pakem bioskop pada umumnya.

Meme yang bersumber dari Reddit

Bagaimana bila Snyder membuat Justice League dengan durasi yang sama dengan versi tahun 2017, apakah pengalamannya akan sama? Tidak ada yang tahu.

Kembali pada pengandaian dari pengalaman saya selama bekerja di media massa. Film Justice League tahun 2017 itu mirip dengan artikel berita yang diterbitkan pada koran atau medium konvensional yang memiliki masalah yang sama: keterbatasan tempat.

Sekeren apapun tulisan, sekomprehensif apapun, wartawan dan editor harus tunduk pada ketersediaan space pada halaman. Di sanalah terjadi proses editing, untuk menyingkirkan bagian tulisan yang prioritasnya rendah agar tulisannya muat. Wartawan maupun editor harus berani “tega” untuk menyingkirkan informasi yang didapatkan dengan susah payah dengan menerapkan skala prioritas demi menghasilkan reportase yang bermanfaat bagi pembaca.

Tidak hanya menghilangkan, mereka harus memastikan alur tulisannya tetap koheren sesudahnya. Itulah kenapa bongkar susun tulisan pun kerap terjadi, paragraf yang semula dianggap sebagai informasi penting bisa turun beberapa alinea dengan alasan menjaga alur tulisan, dan bisa berlaku sebaliknya.

Editing adalah proses yang cukup melelahkan baik badan maupun batin pada ruang redaksi. Unsur individu pun sangat memengaruhi fase ini, satu orang dengan yang lain akan punya sense maupun skala prioritas berbeda dalam mengurutkan informasi.

Green Goblin….

Lantas datang era digital, saat keadaan memungkinkan untuk menampilkan seluruh hasil tulisan tanpa perlu khawatir dengan keterbatasan halaman. Seluruh hasil reportase yang dikumpulkan susah payah di lapangan bisa ditayangkan di dalam tulisan (dengan catatan alurnya tetap terjaga). Hanya dengan satu URL berita, pembaca bisa mendapatkan artikel yang lengkap dan komprehensif.

Satu pengingat

Inilah yang mengingatkan saya kepada film Zack Snyder’s Justice League yang hadir di era pandemi, saat layanan streaming menjadi andalan untuk mendapatkan hiburan. Dia tidak dilahirkan untuk mengikuti format tayangan bioskop sehingga Snyder bisa habis-habisan dalam menunjukkan seperti apa film Justice League menurut visinya.

EPILOGUE: Just enjoy both of them

Film Justice League (2017) dan Zack Snyder’s Justice League (2021) adalah dua film yang rasanya tidak adil bila disandingkan secara apple to apple.

Privilege yang dinikmati Snyder berbeda dengan privilege yang dinikmati Whedon.

Film tahun 2017 adalah karya yang tetap menarik untuk kita nikmati karena menunjukkan bagaimana visi Whedon terhadap kumpulan para pahlawan super yang tergabung dalam Justice League. Kalaupun ada multiverse yang mengizinkan Snyder tetap menjalankan visinya pada tahun 2017, kita tidak pernah tahu hasilnya akan seperti apa.

Yang perlu kita akui bersama, film tahun 2017 memang tidak berhasil memenuhi ekspektasi baik dari penonton maupun petinggi dari Warner Brothers dalam hal penerimaan maupun jumlah penonton. Ekspektasi akan adanya jagat cinematic DC (DCEU) yang bisa bersanding dengan MCU gagal mendapatkan momentum saat beberapa pemainnya memutuskan pamit seperti Henry Cavill (yang menjadi Geralt of Rivia, Butcher of Blaviken).

Kalau menonton, kesalahan bukan terletak pada televisi anda

Ambruknya rencana membangun DCEU harus diakui salah satunya diawali dari keping domino film Justice League (2017) ini.

Dan setelah menyaksikan versi empat jam yang boleh jadi membahagiakan hati para penggemarnya, kita pun harus mengecap rasa pahit karena kenyataan bahwa film ini harusnya menjadi jembatan dari berbagai cerita yang seharusnya bersambung pada film-film berikutnya.

Yang terjadi setelah 2017 adalah sejarah, para pemain berganti, alurnya waktunya tidak koheren. Apalagi untuk Batman saja sudah dipersiapkan film dengan pemeran Robert Pattinson dengan jagat yang berbeda. Untuk tokoh Joker, ada versi Joaquin Phoenix dan Jared Leto.

Buang jauh keinginan untuk menikmati film-film yang terjalin pada satu jagat yang sama, misalkan yang terjadi pada Wanda Maximoff dan Vision melalui serial Wandavision yang mengawali Fase 4 MCU dan dilanjutkan oleh serial The Falcon and the Winter Soldier yang suatu hari ceritanya akan berkelindan di sebuah kesempatan.

Zack Snyder’s Justice League memberi kebahagiaan pada penontonnya, itu saja sudah cukup. Biarlah dia dikenang sebagai film yang lahir pada waktunya yang tepat, begitu pula film yang seharusnya menawarkan percabangan cerita untuk ditayangkan dalam film-film lainnya. Mungkin butuh keajaiban berikutnya untuk mewujudkannya.

Dari MCU kepada DCEU

Joss Whedon mungkin bukan orang yang tepat untuk menangani kisah DC yang perspektifnya gods among men, terlebih membawa Marvel dengan perspektif berbeda. Atau mungkin kesempatan kedua bisa membawa hasil yang berbeda? Tidak ada yang tahu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *