Site Overlay

Saya Membuat Avatar Virtual dengan Foto Mendiang Ayah: Bukan Ide yang Bagus

Foto almarhum ayah saya yang dibuat dengan teknologi AI

Hanya dalam hitungan minggu saja, tren membuat virtual avatar menggunakan layanan artificial intelligence (AI) sedang ramai-ramainya. Rekan di media sosial hiingga selebriti tidak ketinggalan untuk memajang muka mereka yang direka ulang menggunakan kecerdasan buatan sembari memuji hasilnya yang sebagian besar mendekati aslinya. Saya pun juga melakukannya, mencoba layanan seperti Lensa AI untuk membuat virtual avatar dari muka sendiri. Tidak berhenti di sana, sebuah ide pun melintas di kepala: Bagaimana kalau saya menggunakan foto dari mendiang ayah saya untuk direka ulang?

Sebelum saya punya ide untuk membuat avatar virtual dengan foto ayah saya, aku perlu jelaskan beberapa hal: saya tidak punya banyak foto dari mendiang ayah yang bentuknya portrait. Yang ada hanya foto dokumentasi dengan ayah saya di dalamnya. Artinya saya tidak punya foto terkini ayah saya yang menampilkan mukanya secara detail. Saya sendiri belum tahu sampai mana diskusi tentang isu etis dalam penggunaan teknologi kecerdasan buatan seperti sekarang, bisa jadi hal seperti ini membuat sebagian orang tidak nyaman atau bahkan terusik.

Hal pertama yang saya lakukan adalah mengumpulkan foto-foto mendiang ayah dari arsip yang tersimpan di Google Photos. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, hampir semuanya berupa foto dokumentasi dengan ayah saya ada di dalamnya. Sehingga perlu disiapkan terpisah berupa crop hingga satu foto hanya menampilkan wajah mendiang.

Foto-foto mendiang ayah saya. Maaf saya tutup stiker agar tidak disalahgunakan.

Perlu saya sebutkan kalau perasaan saya campur aduk saat melakukan hal ini. Ada rasa kangen, sedih, penuh harap, sekaligus takut dengan rasa kecewa apabila hasilnya tidak sesuai harapan. Saya mendapatkan foto dari berbagai peristiwa hidup yang kebetulan berhasil saya arsipkan di Google Photos, menampilkan kebersamaan semasa hidup dengan saya dan keluarga.

Saya sudah tahu benar bahwa satu kaki saya sudah menginjak ke area yang tidak diketahui sebelumnya.

Akhirnya terkumpul 15 foto, dan langsung saya umpankan ke aplikasi Lensa AI. Aplikasi ini memang meminta 10 hingga 20 foto untuk mereka pelajari dan mereka wajah dengan berbagai pose. Untuk belajar, mereka butuh foto yang menampilkan wajah yang jelas, tidak ada wajah lain yang mengganggu dan syarat foto yang layak lainnya.

Inilah salah satu alasan saya menggunakan Lensa AI untuk foto mendiang ayah: saya ingin memiliki foto profil dari almarhum untuk kenangan pribadi. Ekspektasi saya sudah setinggi itu. Dan inilah “red flag” pertama yang seharusnya saya sadari sejak tadi.

Seperti proses lainnya, Lensa AI butuh waktu 20 menit kurang untuk belajar dari foto-foto yang saya umpankan sebelum menyodorkan hasilnya. Begitu pemberitahuan muncul bahwa hasilnya sudah siap, saya pun segera membuka aplikasi, dan mengamati wajah-wajah yang dihasilkan aplikasi itu.

Akrab namun Asing

Hasilnya keluar dan boleh dibilang tidak sesuai harapan

Aplikasi Lensa menyodorkan hasil berupa 100 foto wajah yang dibuat dengan artificial intelligence bermodal 15 foto almarhum ayah saya (dan ternyata hanya diterima 12 foto karena ada foto yang dianggap belum layak). Dan saya kesulitan untuk memaknai perasaan yang berkecamuk ketika mengamati satu per satu wajah yang dihasilkan.

Secara umum, aplikasi kecerdasan menghasilkan 30-an foto yang bisa dibilang memiliki ciri-ciri fisik dari almarhum ayah: bentuk pipi, bibir, mata, dan perawakan muka. Sisanya lebih cocok disebut “Your regular chinese uncle”, kebetulan mendiang ayah memang kulitnya putih dan bermata sipit, jadi sering dikira keturunan.

Kembali ke 30 foto yang hasilnya paling mendekati lagi, saya melihatnya dengan sedikit terganggu. Iya, kalau ditanya apakah foto-foto ini mirip dengan ayah semasa hidup, saya akan berkata “mirip”. Tapi entah kenapa ada hal yang membuatnya sedikit “off” untuk membuat keluarganya bisa mengenali foto tersebut.

Perasaan saya sungguh tidak enak melihat wajah-wajah ini. Ini wajah yang saya ingat sepanjang hidup, dari lahir hingga beliau meninggal dunia pertengahan tahun 2021. Tapi wajah tersebut terasa asing. Gambar yang aku lihat adalah foto muka orang tanpa ada konteks atau cerita apapun di belakangnya.

Ekspektasi Membunuh

Ini adalah salah satu foto yang menurut saya cukup dekat dengan sosok mendiang ayah, meski tidak bisa dibilang 100%

Saya pun bertanya kepada diri sendiri:”Di mana masalahnya?” dan akhirnya sampai pada satu titik bahwa semua ini terjadi karena satu hal yakni ekspektasi saya. Sebelum mengumpankan foto-foto mendiang ayah saya, saya berekspektasi untuk mendapatkan foto profil yang belum saya miliki. Yang artinya, saya berekspektasi untuk mengabadikan momen atau kenangan baru dengan bantuan teknologi sementara subyeknya sudah meninggal.

Melihat foto-foto hasil dari Lensa AI, saya tidak bisa menjelaskan apa kisah di balik gambar ini. Berbeda bila saya melihat foto-foto arsip. Saya masih bisa menjelaskan apa peristiwa saat gambar ini diambil: sewaktu datang ke Tangsel menjenguk cucu-cucunya, saat kami semua pergi ke Jepara untuk berziarah ke makam Eyang Kakung, atau saat cucu-cucunya mendatangi ke rumah di Pasuruan. Peristiwa itu menempel ketat dengan gambar.

Yang terjadi sebaliknya saat saya melihat gambar hasil dari Lensa AI. Aku melihat wajah yang familiar tapi tanpa peristiwa apa pun yang menyertainya. Percayalah, apa yang saya rasakan saat itu sungguh tidak enak: seperti hampa, dan makin kesepian.

Di tengah orang-orang lain bersenang-senang memanfaatkan Lensa AI untuk mendapatkan avatar virtual dengan wajah mereka sendiri, saya justru memanfaatkannya untuk “membuat” kenangan baru dari almarhum ayah. Iya, ini bukanlah ide yang bagus untuk memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan.

Namun saya masih bersyukur (sebagai DNA orang Jawa yang selalu mencari hal yang disyukuri di tengah kemalangan yang menimpa), hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi awal. Mungkin ini adalah jalan yang harus ditempuh bahwa kenangan apapun yang tersisa dari mendiang ayah hanya akan disimpan di ingatan atau medium visual yang saat ini tersedia.

Ingatan bisa pudar dan file bisa rusak atau hilang, inilah pelajaran bahwa semua itu fana. Saya pun meninggalkan pesan bagi siapa pun yang ingin memanfaatkan Lensa AI dengan foto-foto kerabat yang sudah meninggal: “Mohon kelola ekspektasi Anda sekalian.”

“Al fatihah, Papa…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *