
Ringkasan: Kehebohan terkait iklan Gosend Indonesia mengajarkan kita soal pentingnya memiliki sensitivitas dalam berkomunikasi kepada publik. Sensitivitas bukan berarti mematikan kreativitas, tapi menjaganya agar tidak menghadirkan mudarat bagi brand alih-alih manfaat.
Hari Rabu (20/10/2021) sebetulnya hari libur di mana semua orang bisa bersantai bersama keluarga, tetapi kita warga Indonesia memilih untuk gaduh bercakap-cakap di linimasa media sosial.
Kali ini tentang unggahan media sosial dari @gosendindonesia yang dianggap menyinggung merek Harian Kompas. Spoiler: masalah sudah selesai. Yang terjadi saat itu, Gosend yang sedang menjalankan campaign bersama vokalis band Noah, Nazriel Irham atau Ariel, bermain dengan plesetan tapi kali ini tidak semua orang sepakat bahwa plesetannya lucu.

Mereka memajang materi yang menyerupai wajah halaman pertama koran Harian Kompas untuk mendorong pesan bahwa pengiriman paket yang dilakukan Gosend itu cepat dan melampaui ekspektasi pengguna dalam bentuk tajuk utama.
Masalah muncul karena untuk menciptakan kesan bahwa messaging itu seperti berita di koran, Gosend menggunakan perwajahan yang mirip dengan halaman pertama Harian Kompas dari penempatan hingga font yang dipakai. Masalah lainnya, nama media yang dipakai adalah “SOMPLAK” yang diartikan negatif serta tagline “Amanat Ati Ampela Rakyat” dari versi aslinya “Amanat Hati Nurani Rakyat”.
Plesetan semacam itu mungkin dilakukan untuk menjauhkan asosiasi sejauh mungkin dari merek Kompas. Tapi dengan menggunakan font dan tata letak seperti itu, akan sulit untuk tidak mengaitkan dengan Kompas sendiri. Lantas muncul pertanyaan, kenapa harus menggunakan kata “Somplak” yang mengundang beragam penafsiran.
Reaksi keras pun muncul, beberapa yang cukup terbuka umumnya diunggah oleh pensiunan karyawan sementara karyawan mengunggah status lebih subtle. Akan sulit dipahami kalau tidak paham konteksnya.
Sebelum melanjutkan, saya perlu memasang disclaimer dulu: saya adalah mantan karyawan Kompas yang bekerja tahun 2005-2020 sehingga kebetulan bisa mendengar percakapan dari karyawan serta unggahan-unggahan mereka di media sosial. Posisi ini justru memberi saya posisi yang unik karena bisa melihat fenomena yang saya jelaskan pada alinea selanjutnya.
Pada spektrum lain, saya menangkap pemaknaan yang bertolak belakang, menganggap iklan plesetan yang dibuat oleh Gosend sebagai wujud kreativitas yang tidak perlu disikapi berlebihan. Ada juga yang langsung menyimpulkan dengan hal ini sebagai konflik generasi Boomer vs generasi Z dengan sudut pandang yang berlawanan, termasuk ada yang berkata bahwa Kompas “sensian” sementara yang dilakukan setiap hari adalah mengkritik pemerintah.
Khusus terkait pendapat bahwa “Ini urusan boomer yang meributkan segalanya” bisa saya kabarkan kalau hal tersebut kurang tepat. Sebagian besar karyawan Harian Kompas dari generasi X, Y, dan Z juga memiliki sikap serupa. Dari pengalaman saya, inilah keberhasilan perusahaan tersebut dalam internalisasi value kepada karyawan.
Menurut saya, pendapat “plesetan yang dilakukan Gosend itu kelewatan” dan pendapat lainnya yang mengatakan “plesetan Gosend tidak perlu disikapi berlebihan” sama-sama bisa diterima. Pendapat tersebut hadir dari pengalaman yang berbeda dari setiap orang. Mereka yang bekerja lama di Harian Kompas dan belajar tentang sejarahnya termasuk cerita tentang tata letak yang sekarang digunakan tentu punya pemaknaan berbeda apabila dibandingkan dengan mereka yang melihat Harian Kompas dari luar.
Tarik menarik itulah yang menyadarkan saya soal pentingnya memiliki sensitivitas. Tanpa hal tersebut, komunikasi kita bisa mengundang masalah dengan brand lain karena dianggap merugikan, atau tanpa sadar berdampak kepada kelompok rentan.
Masalah Gosend dan Harian Kompas memang sudah selesai: unggahan ditarik, mengumumkan permohonan maaf, dan datang langsung ke redaksi Harian Kompas untuk silaturahmi dan bertemu langsung. Namun bukan jaminan di masa mendatang bakal terjadi hal serupa bila kita kurang memiliki sensitivitas baik oleh brand lain, oleh pemerintah, atau kelompok masyarakat.
Bagaimana caranya menghindari masalah terkait sensitivitas? Bisa dilakukan di sejumlah lini, mulai sejak perencanaan konten. Bisa melakukan riset tentang bagaimana penerimaan mereka. Kembali ke kasus Gosend, saya tidak tahu tingkat pemahaman dari tim creative atau agensi yang mengerjakan konten tersebut dengan industri media atau brand Harian Kompas, setidaknya bisa mencari tahu terlebih dahulu dengan bertanya ke pelaku industri media atau mereka yang paham.
Termasuk juga terkait copyright, menurut penjelasan salah satu alumni Harian Kompas yakni Arbain Rambey melalui utas tweet-nya, Harian Kompas mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membeli font, menyewa desainer tata perwajahan. Jadi muncul pertanyaan ketika ada brand lain memplesetkan hal itu untuk materi komersial mereka tanpa permisi.
Lapis berikutnya ada di tingkat approval. Desain selesai harusnya masuk ke ranah pengambil kebijakan sebelum benar-benar diunggah ke platform media sosial. Kehadiran mereka yang tidak terlibat dalam diskusi kreatif seharusnya memberikan perspektif dalam kepala dingin dan bisa melihat “in a bigger picture”. Penjelasan ini mengingatkan saya kepada cerita saat menjadi wartawan yang membutuhkan peran editor untuk menyunting tulisan dengan kepala dingin agar emosi wartawan tidak bocor ke informasi yang diterima pembaca dalam bentuk artikel.
Para pemberi approval seharusnya bisa sadar kalau postingan ini bakal “berbahaya” atau tidak. Mereka dengan bidangnya masing-masing akan segera paham bahwa konten ini akan merepotkan di masa mendatang sehingga bisa memberi masukan untuk modifikasi hingga sampai titik yang disepakati “aman”.
Sensitivitas lahir seiring pengalaman atau “jam terbang” dengan memahami bahwa masyarakat itu sungguh kompleks dari sisi sosial maupun budaya, terlebih seperti Indonesia dengan identitas yang saling berkelindan. Menawarkan perspektif yang beragam seharusnya bisa memberi pemahaman lebih baik terhadap satu isu.
Apakah dengan menjadi sensitif berarti mengorbankan kreativitas? Tentu tidak. Kreativitas itu tanpa batas, tapi ketika disampaikan kepada publik, kita harus memastikan bisa diterima dengan baik. Dengan demikian dua hal ini saling menyeimbangkan.
Urusan sensitivitas memang terasa merepotkan, tapi perlu disadari bahwa ini adalah konsekuensi kemajuan zaman dengan pemikiran makin beragam dan mereka punya saluran untuk menyuarakan aspirasinya menggunakan media sosial. Inilah masa menantang bagi kita yang ingin berkomunikasi secara massal.
Kenapa kok orang dulu ga sensian? Bisa jadi mereka ga punya saluran untuk mengutarakan keberatan dan memilih untuk pasrah di tengah mayoritas.
Tangsel, 21 Oktober 2021