
Pagi ini saya saya harus menerima kenyataan bahwa teman, kolega dan mentor (tidak langsung) saya: Kushindarto atau lebih dikenal dengan Mas Darto, telah selamanya meninggalkan kita semua. Dalam beberapa tahun ini, dia memang berjuang melawan penyakit yang menggerogoti badannya. Namun, kali ini saya ingin berbagi tentang apa yang saya tahu soal mas Darto, apa warisannya bagi industri media teknologi Tanah Air.

Di mata saya, Mas Darto mampu memberikan teladan soal menjadi wartawan, menjalankan media teknologi, membangun relasi dengan narasumber dan membangun reputasi. Dengan latar belakang sebagai wartawan foto, saya selalu menaruh rasa hormat kepada mas Darto karena bisa self-reinventing untuk tetap relevan dengan zaman. Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengajak para wartawan muda untuk bisa belajar darinya karena proses yang dia lakukan selama ini harusnya juga dilakukan.
Satu hal yang dilakukan oleh mas Darto selama liputan yang sesuai dengan didikan yang juga saya terima sewaktu bekerja sebagai untuk media massa: “wartawan adalah pekerjaan kaki, kita dahulukan kaki itu untuk mencapai lokasi liputan.” Sedikit disclaimer bahwa hal ini terjadi sebelum pandemi dimana event media yang digelar oleh brand bisa rapi berjejer dalam seminggu dan terkadang ada yang jadwalnya berdempetan di waktu yang berdekatan. Kebanyakan wartawan mengambil pilihan rasional untuk memilih salah satu atau bagi badan dengan rekannya. Lain halnya dengan apa yang dilakukan mas Darto yang mengusahakan untuk mendatangi satu demi satu meskipun terkadang acara yang paling akhir didatangi hampir selesai.
“Ini bentuk menghargai mereka yang sudah mengundang kita,” ujarnya pada suatu kesempatan.

Saya melihat sendiri bagaimana jaringan ke narasumber yang cukup ekstensif bisa dimiliki oleh almarhum. Itu semua merupakan kombinasi dari jam terbang, konsistensi dan kemampuan bersosialisasi. Membangun koneksi narasumber adalah investasi jangka panjang yang wajib dilakukan oleh setiap wartawan. Kita harus berteman dengan siapa saja dan tidak pilih-pilih karena perjalanan karier seseorang tidak ada yang tahu, dia yang bukan anybody bisa menjadi somebody important. Berteman dengan siapa saja selalu membawa manfaat.

Pembawaan mas Darto memang membuatnya bisa diterima ke semua kalangan. Bagi yang tidak kenal akan memandangnya sebagai orang yang galak, tapi untuk yang sudah kenal akan mengenal sebagai pribadi yang care terhadap teman-temannya, tidak segan berbagi pengalaman dan ilmu kepada orang lain, termasuk kepada para wartawan muda kalau bertemu di lokasi liputan. Dia bisa diterima di kalangan media sekaligus youtuber yang terkadang memiliki gaya bekerja yang tidak selamanya sama. Dan hari ini, mereka semua berduka karena ditinggal untuk selamanya.

Etos kerja adalah satu hal yang saya rasa wajib kita semua pelajari dari beliau. Mas Darto konsisten berkiprah hingga terakhir berusaha memperkenalkan jangantulalit yang memperkenalkan gaya liputan live streaming. Perlu saya tekankan bahwa hal ini terjadi jauh sebelum pandemi menyerang, ketika semua wartawan nyaman dengan produk jurnalistik berupa teks dan foto sementara video masih sebuah kemewahan. Mas Darto sudah memperkenalkan produk jurnalistik yang melampaui zamannya.
Dan yang membuat saya salut, dia memiliki kebanggaan atas apa yang dia lakukan. Dia tetap percaya diri dengan apa yang dia lakukan: datang ke jumpa pers, menyiapkan peralatan seperti monopod, dan smartphone untuk mulai siaran langsung. Saya yakin pada zaman itu akan terlihat ganjil, tapi dia tidak ambil pusing. Begitu pula sewaktu memperkenalkan diri dan nama medianya, tidak jarang narasumber pun menunjukkan raut muka tidak percaya sewaktu mendengar nama medianya “jangantulalit”. Terdengar lucu mengingat istilah “tulalit” tidak lagi banyak dipergunakan dalam ragam tulisan maupun lisan dalam konteks kekinian.

Secara objektif, media jangantulalit sendiri memang belum bisa dibilang berprestasi dari segi performa media sosial. Namun saya yakin bahwa itu semua hanya masalah momentum semata, jangantulalit hanya butuh satu kesempatan saja dan dia sudah siap apabila hari itu datang.
Rencana yang belum terwujud
Hingga akhir hayatnya, Mas Darto intens menggeluti dua media yang menggarap tema yang spesifik: jangantulalit.com yang membahas teknologi dan wartajazz.com yang membahas musik. Saya bertemu beliau ketika meliput teknologi untuk Harian Kompas, Begitu saya pindah ke Xiaomi pada 2020, ditambah pandemi, komunikasi terjadi tidak seintens sebelumnya.

Selama masa itu, saya mendengar mas Darto sakit dan sempat dirawat. Di tengah masa pembatasan aktivitas, tim PR Xiaomi Indonesia sempat menggelar sesi hands on atau mengajak rekan media dan youtuber untuk merasakan pengalaman menggunakan produk, di sanalah saya kembali berjumpa dengan mas Darto yang kini badannya sudah terlihat kurus dan mukanya capek. Tapi Mas Darto tetaplah mas Darto yang bercerita dengan penuh semangat dan tidak pernah lelah berbagi pengalaman dan cerita kepada semua orang.
Dia yang tengah gandrung dengan kendaraan listrik menceritakan perjuangannya mendapatkan pengobatan sebagai peserta BPJS di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Kami berpisah dengan saling mendoakan agar pertemuan berikutnya bisa terjadi kembali dengan suasana yang lebih menggembirakan.
Di tengah pembatasan aktivitas, Mas Darto tidak lantas diam, dia tetap berusaha untuk melakukan apa yang selama ini dilakoni seperti membuat ulasan produk dan semacamnya.
Satu hal yang membuat kami dekat adalah kematian. Mas Darto kehilangan istrinya pada tanggal 10 Juli 2021 pagi dan pada siang harinya, saya kehilangan ayah yang berpulang untuk selamanya.
Setelah itu saya kembali kehilangan kontak dengan almarhum. Sempat mengikuti kabar melalui unggahan di Facebook mengenai kondisinya yang naik turun. Sempat berniat untuk datang membesuk tapi sayangnya selalu tertunda, dan akhirnya baru terlaksana pagi tadi, tepat menjelang jenazahnya dimandikan di carport rumahnya.
Awal Oktober 2022, kami sempat bertemu di Taman Menteng Bintaro, sama-sama datang menggunakan sepeda. Bedanya sepeda saya dikayuh sementara sepeda mas Darto dibantu motor listrik.

Saya sempat melihat kondisinya jauh membaik, pandangan lebih segar meski badannya masih kurus kering. Di Taman Menteng, saya mendapatkan update tentang apa yang dia lakukan selama ini. Dia menceritakan tentang kesibukannya dengan sepeda listrik dan keterlibatan di dalam komunitasnya. Tidak ketinggalan, memastikan keinginan untuk kembali terlibat dalam reportase dunia teknologi meski dia sadar diri bahwa kondisinya membatasi untuk banyak berbuat.
Pagi tadi, saya hanya bisa diam mengamati badannya dibungkus kain kafan sementara tiga anaknya berdiri bersandar ke dinding. Mata mereka sembab sementara jemarinya bergetar. Petugas yang selesai mengkafani segera memimpin doa sembari memberi nasehat kepada mereka yang ada di ruang tamu tentang nasehat yang diberikan oleh kematian, untuk mengisinya dengan hal yang bermanfaat dan diperintahkan oleh agama. Kepada mereka yang ditinggalkan untuk bisa mengikhlaskan kepergian almarhum.
Mas Darto memang telah pergi untuk selamanya, semoga teladannya semasa hidup bisa menjadi warisan untuk kita semua, khususnya untuk mereka yang melangkah di jalan yang sama. Saya ingin menutup tulisan ini dengan disclaimer bahwa semua isinya adalah hasil dari sejumlah persinggungan di masa lalu, mungkin hanya menggambarkan dari satu dimensi saja.

Harapan saya, kalau suatu hari ada yang ingin belajar tentang sosok beliau, bisa belajar satu atau dua aspek dari perjalanan hidupnya lewat tulisan ini.